Petugas memperlihatkan uang pecahan dolar Amerika Serikat di gerai penukaran mata uang asing di Jakarta, Selasa (4/9).
Menguatnya nilai dolar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah tidak terbendung. Nilai tukar mata uang Negeri Paman Sam tersebut akhirnya menembus Rp14.957 per dolar pada perdagangan hari Selasa (4/9/2018).
Level tersebut menjadi titik terlemah rupiah pasca krisis keuangan yang melanda Asia tahun 1998 lalu.
Dikutip dari data Reuters, dari awal tahun hingga Akhir Agustus atau year to date, rupiah melemah hinga 11 persen. Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Bank Indonesia pun dengan sigap memasang taktik untuk menahan kejatuhan rupiah lebih lanjut.
Namun apa sebetulnya penyebab di balik melemahnya rupiah kali ini?
Banyak pengamat ekonomi yang menganalisis penyebab jatuhnya nilai tukar rupiah baru-baru ini. Sumbernya pun disebut bermacam-macam, mulai dari sentimen domestik hingga luar negeri.
Namun, pemulihan ekonomi AS dinilai sebagai sumber paling dominan atas menguatnya nilai tukar mata uang dolar terhadap mata uang negara lain di dunia.
Pertumbuhan ekonomi AS di bawah pemerintahan Donald Trump terus mencatat kinerja yang kuat. Bahkan pada kuartal II 2018, ekonomi AS menghasilkan kinerja terbaik setelah hampir empat tahun. Hal ini disebabkan ekspor yang meningkat dan impor yang menurun.
Para ekonom menilai laju pertumbuhan ekonomi yang kuat, kemungkinan membuat bank sentral negara tersebut, The Federal Reserve, berada di jalur yang tepat untuk menaikkan suku bunga acuan pada pertemuan mendatang, alias yang ketiga kalinya di tahun ini.
Nilai suku bunga yang tinggi turut mengerek nilai imbal hasil surat berharga yang diterbitkan oleh pemerintah AS (US Treasury Yield). Saat ini, imbal hasil obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun dan 30 tahun masing-masing mencapai 2,85 persen dan 3,02 persen.
Hal itu lantas menjadi incaran para investor global. Alhasil, dana investor yang selama ini berputar di negara-negara berkembang --termasuk Indonesia, memilih cabut dan beralih ke AS.
Ekonom Senior Centre of Reform on Economics (CORE), Piter Abdullah, menjelaskan sebagai negara yang masih sangat bergantung dengan modal asing, Indonesia amat terdampak dari kondisi tersebut. Ia menyebut hal tersebut dengan istilah "uang panas", karena dana tersebut bisa datang dan pergi tanpa bisa diprediksi secara tepat.
"Tidak hanya Indonesia, kondisi ini juga dialami negara-negara yang selama ini menikmati capital inflow (arus masuk modal asing). Ketika AS mulai menaikkan suku bunga, otomatis itu menarik dana yang selama ini ada di sini (Indonesia)," ujar Piter kepada Beritagar.id, Selasa (4/9).
Sementara itu, Kepala Ekonom Bank Mandiri Anton Gunawan mengungkapkan, faktor ketidakpastian global masih akan menekan rupiah di pasar. Kali ini faktor lain datang dari meningkatnya tensi perang dagang antara AS dan para mitra dagangnya yang terus berlanjut dan tidak tahu pasti akan selesai kapan.
Genderang perang yang terus ditabuhkan oleh Trump telah menyeret negara-negara berkembang atau emerging market kena getahnya. Usai Venezuela dihantam krisis, kini Turki juga harus merasakan pahitnya krisis mata uang akibat kejatuhan lira pasca ultimatum sanksi yang diberikan oleh Trump.
"Ketika krisis melanda, investor ramai-ramai mengalihkan investasinya ke negara yang lebih ramah investasi (safe haven)," ujar Anton, Selasa (4/9).
Anton menganalisis, ada tujuh hal yang dibayangi oleh risiko akibat kejatuhan nilai tukar lira. Sektor perbankan domestik, perdagangan, investasi langsung, hingga posisi utang luar negeri dinilai memiliki risiko yang rendah terhadap dampak pelemahan lira.
Namun sektor pasar kurs, obligasi dan pasar modal dinilai menjadi sektor yang paling rawan terkoreksi akibat kejatuhan Turki. Hal ini akibat Indonesia dan Turki memiliki kesamaan dalam karakteristik investor. Di pasar modal misalnya, portofolio investasi di kedua negara saat ini sama-sama dikuasai oleh investor asing hingga lebih dari 50 persen.
Menyusul Turki, Argentina juga tengah masuk dalam fase krisis yang mendesak Presiden Argentina, Mauricio Macri, untuk mengajukan pinjaman senilai 50 miliar dolar (Rp700 triliun) kepada Dana Moneter Internasional (IMF).
Jatuhnya Argentina dalam krisis menambah derita pasar keuangan di negara berkembang. Hal ini akibat investor melakukan penyeimbangan kembali (rebalancing), portofolio investasinya di negara emerging market.
Faktor domestik
Sumber masalah jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dolar tidak hanya datang dari luar negeri. Faktor internal juga turut berkontribusi terhadap pelemahan mata uang Garuda itu hingga nyaris menembus Rp15.000 per dolar.
Pengamat Ekonomi dari Universitas Indonesia, Chatib Basri, mengatakan, terus lemahnya rupiah terhadap dolar saat ini, tak jauh beda dari faktor yang terjadi sejak 2013. Menurut dia, penyebabnya adalah ekonomi Indonesia yang masih mengalami defisit terhadap neraca transaksi berjalan (Current Account Deficit).
Data Bank Indonesia per akhir kuartal II 2018 menunjukkan transaksi berjalan mengalami defisit mencapai 8 miliar dolar atau setara 3 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Ini merupakan defisit terdalam sejak kuartal II 2014 yang mencapai 4,3 persen terhadap PDB.
Defisit tersebut disumbang oleh tingginya impor, salah satu sumber terbesarnya adalah dari defisit neraca minyak dan gas.
Untuk itu, mantan menteri keuangan tersebut merekomendasikan pemerintah untuk mengatasi masalah jangka pendek tersebut dengan cara mengurangi permintaan atas bahan bakar minyak (BBM).
"2013, kita pernah alami seperti sekarang ini (pelemahan rupiah), dan itu bisa stabil kalau (harga) BBM dinaikkan," ujar Chatib.
Sementara, menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Valas Indonesia, Amat Tantoso, salah satu penyebab menguatnya nilai tukar dolar adalah akibat besarnya kebutuhan dolar untuk pembayaran royalti dari perusahaan dalam negeri ke perusahaan asing yang bermukim di luar negeri.
Menurutnya, jumlah yang harus dibayarkan pada semester II tahun ini tidak lah sedikit. Ia mencatat, dari 2.000 perusahaan terbesar di dunia, ada 526 perusahaan dari AS, dan sebagian dari mereka berbisnis di Indonesia.
Faktor lainnya yakni karena dividen. Banyak perusahaan asing yang membuka anak perusahaan di Indonesia. Maka tiap tahun anak perusahaan harus mengirim dividen kepada induknya dalam bentuk dolar.
“Akibatnya permintaan akan dolar meningkat. Dolar terus menerus dicari sehingga nilai dolar akan semakin kuat terhadap rupiah,” jelas Amat kepada Beritagar.id, Selasa (4/9).
Ia mengingatkan peristiwa krisis moneter pada 1998 lalu. Saat itu kurs rupiah mencapai Rp 16.800 per dolar. Kondisi tersebut membuat perekonomian di Indonesia kacau. Bahkan dampaknya meluas dan menimbulkan gejolak sosial dan politik di masyarakat.
Oleh sebab itu, Amat berharap pemerintah segera mengambil kebijakan strategis untuk mendongkrak nilai tukar rupiah.
Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...a-nilai-rupiah
No comments:
Post a Comment